Rabu, 29 April 2020

CORONA DAN AUTENTISITAS KITA

sumber: health.grid.id

Sejak virus corona atau yang jamak disebut sebagai COVID-19 merebak, pemerintah mengimbau bahkan pada titik tertentu memaksa warganya untuk melakukan social distancing. Sampai  tulisan ini dibuat, tercatat 3.151.558 orang telah terinfeksi dengan korban meninggal mencapai lebih dari 218.473 jiwa di seluruh dunia, di mana 9.771 orang yang terinfeksi adalah warga negara Indonesia dengan jumlah kematian mencapai 784 jiwa (sumber worldometers.info).

Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan kebijakan physical distancing bagi masyarakat. Istilah tersebut meralat istilah social distancing  yang terlanjur digunakan sebelumnya. Tujuan dari physical distancing yang diserukan oleh pemerintah ialah agar masing-masing individu sebisa mungkin mengisolasi dirinya atau membatasi aktivitas fisik yang berkerumun atau berdekatan dengan orang lain untuk memutus rantai penyebaran virus ini. Negara-negara lain pun mengalami kondisi serupa. Di beberapa negara yang terdampak parah, pemerintah setempat bahkan memutuskan untuk melakukan lockdown wilayah atau negara secara paksa.

Tentu saja pandemi ini bukan yang pertama kali, bahkan sudah yang  kesekian kali. Dengan kondisi yang seperti ini, sepertinya Tuhan tengah memberi alarm dan hikmah bagi kita. Pandemi seperti ini jangan kita anggap sebagai siksa, melainkan sebagai alarm dari Tuhan yang kuasa dan penuh welas asih. Dengan sikap tetap berbela sungkawa kepada korban meninggal, penulis membaca pesan bahwa Tuhan melalui pandemi ini membiarkan bumi untuk sejenak beristirahat dan sedikit bernafas lega.

AUTENTISITAS MANUSIA

Penulis mengajak pembaca untuk sejenak merenungkan pemikiran seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger berkaitan dengan keberadaan manusia dan jarak yang akan mengantarkan kepada perenungan tentang autentisitas diri kita.

Heidegger mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempersoalkan tentang “Ada”. Di sisi lain, manusia adalah dasein, ia ada di sana; ia terjebak dalam ruang dan waktu tertentu. Eksistensi atau keberadaan manusia, menurutnya, adalah Ada yang berjarak (existenz). Manusia dapat mengambil jarak dari dirinya dan memperoalkan keberadannya yang terlempar-ke-dalam-dunia. Kita dapat mempersoalkan diri kita sekarang: mengapa kita kuliah tinggi-tinggi, atau mengapa kita bercita-cita menjadi dokter, misalnya.

Entah kita sadari atau tidak, menurut Heidegger, hidup kita terdiri dari tiga komponen: 1) terlempar di dunia yang kerap tidak diinginkan alias terlempar begitu saja (faktisitas); 2) rutinitas yang membuatnya tidak lagi otentik (keterjatuhan), dan; 3) mengantisipasi masa depan (pemahaman).

Kelarutan kita dalam rutinitas membuat kita tidak lagi autentik menjadi diri sendiri. Pekerjaan, hobi, dan gengsi kita membuat kita tidak lagi autentik (inautentik). Kita harus mengambil jarak agar kita dapat menyendiri dan berkontemplasi, memikirkan diri siapa sesungguhnya diri kita.

Ada satu hal dalam pandangan Heidegger yang dapat membongkar inautentisitas kita. Ya, kecemasan. Kecemasan akan muncul tatkala prahara berupa penyakit, kemiskinan, atau kematian menyentuh hidup kita. Kecemasan akan menelanjangi kepura-puraan dan selubung-selubung kepalsuan kita. Kecemasan membuat kita “terlempar” dalam palung-palung Ada kita sendiri. Kecemasan akan mengungkapkan siapa jati diri kita sebenarnya, autentisitas kita. Setelah menyadari autentisitas diri, kita harus mengorientasikan masa depan sesuai dengan autentisitas tersebut.

KEBERAGAMAAN YANG AUTENTIK

Penulis menemukan dalam tiga kesempatan (QS. al-Isra’: 67; QS. al-‘Ankabut: 75, dan; QS. Luqman: 32), al-Qur’an menyebutkan tentang orang-orang yang apabila ditimpa kesusahan hingga titik nadir, mereka mengesakan Allah dengan benar-benar memurnikan agama dan peribadatan untuk-Nya semata. Namun tatkala Allah menghindarkan mereka dari kesusahan, mereka kembali menyekutukan-Nya. Keberagamaan semacam ini adalah monoteisme temporal, tauhid sesaat.

Dibaca melalui perspektif Heideggerian, al-Qur’an tampak hendak  mengatakan bahwa prahara kesusahan mengungkap jati diri manusia. Manusia sebenarnya, ketika dihadapkan atau “terlempar” pada suatu kondisi yang menyentuh pangkal-pangkal kecemasannya, adalah makhluk yang lemah. Dalam situasi seperti itu, naluri alamiah dan diri autentiknya mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa yang patut disembah dan dimintai pertolongan. Namun tatkala ia kembali menjalani rutinitasnya, ia kembali melakoni kesyirikan yang justru membuatnya inautentik. Padahal seharusnya ia harus mengorientasikan masa depannya selaras dengan tauhid yang autentik tersebut.

KITA DAN CORONA

Dengan social disctancing saat ini, kita seolah terlempar pada suatu kondisi dunia di mana kita harus mengambil jarak, baik dari benda-benda, rutinitas, bahkan diri kita saat ini. Kecemasan terhadap prahara penyakit yang berpotensi maut ini seolah menelanjangi rutinitas dan diri kita, menyentuh urat-urat saraf kepalsuan kita. Ini adalah momen di mana seharusnya kita dapat memikirkan jati diri kita.

Dalam situasi gawat karena virus ini, pemerintah mengimbau  untuk mengurangi aktivitas ritual keagamaan yang bersifat kolektif. Di beberapa daerah terdampak parah, rumah ibadah “menuju” diliburkan. Tuhan seolah mengajak kita “menemukan-Nya” dalam kesendirian, alienasi, ketersendirian kita. Tuhan seolah berpesan bahwa Dia bukan berada di rumah ibadah, melainkan berada dalam relung hati kita yang terdalam.

"Terlempar" dalam situasi seperti ini, kita diajak merenung apakah kita termasuk orang-orang autentik temporal itu? Apakah kita benar-benar manusia tauhid atau justru bertauhid sesaat saja? Setidaknya, jika kita benar-benar berada dalam kecemasan tersebut, kita pasti menyadari suara nurani kita yang autentik bahwa kita adalah hamba Tuhan yang sepenuh hati mengabdi kepada-Nya.

Tidak salah dan tidak jarang kita menjadikan peristiwa kesusahan sebagai titik awal kita kembali kepada Tuhan. Akan tetapi, jangan sampai ketika pandemi ini berakhir, keberagamaan kita kembali terusik oleh iming-iming duniawi yang kita berhalakan: kesuksesan material yang eksploitatif, jabatan dan kekuasaan yang korup, dan penjarahan kita terhadap bumi pertiwi dengan berlagak sok menjadi tuhan. Jangan sampai kita mencampakkan iman autentik kita.

Kita dapat menguji autentisitas diri dalam ranah sosial. Praktik solidaritas kerap terjadi manakala kita merasa senasib sepenanggungan dengan orang lain. Kecemasan dalam menghadapi pandemi ini “melempar” kita untuk saling bergotong royong untuk memutus rantai penyebaran virus kecil nan berbahaya ini. Yang perlu kita perhatikan adalah apakah solidaritas sosial kita hanya solidaritas temporal yang hanya bertahan sampai pandemi ini selesai ataukah –dan semoga- menjadi langkah awal solidaritas sosial dan persatuan kebangsaan yang autentik dan konstruktif serta beriorentasi untuk jangka waktu yang panjang?

Demikian halnya dengan pemerintah. Kita dapat melihat apakah kecemasan serupa memancar dari diri mereka ataukah sebaliknya. Apakah autentisitas mereka tulus ikhlas demi rakyat atau sarat kepentingan pribadi yang sering diumbar justru merupakan autentitas mereka itu sendiri? Tentu kita berharap bahwa kecemasan-kecemasan rakyat dapat menyentuh relung hati pemerintah pengemban amanah untuk bekerja semaksimal mungkin memutuskan langkah bijak guna menghindari krisis yang lebih besar dan menyingkirkan kepentingan yang tidak penting.

3 komentar:

  1. Kerennn. Seperti mendengarkan pak Dekan ketika menjelaskan pemikiran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe lagi belajar Yunda. Mohon bimbingannya 🙏

      Hapus
  2. Tulisan yang mengajak untuk berpikir. Khas anak muda.
    Terimakasih!

    BalasHapus