Rabu, 06 Februari 2019

Menyunahkan Nikah Muda

“Hadirilah Seminar Nikah Muda”, “Nikah Muda Syar’i, Mudah, dan Murah”, “Enaknya Nikah Muda”, “Hijrah Cinta”. Sederet kata-kata itu belakangan ini menyeruak. Tujuannya jelas, mengajak muda-mudi untuk segera menikah. Tak jarang kata-kata manis islami arabi itu masih ditambahi pemanis-pemanis lain, foto-foto narasumber yang ganteng dengan ukhti-ukhti yang pakai cadar, seolah-olah paling islami sendiri. Peminatnya juga bejibun, apalagi muda-mudi lulusan SMA sampai mahasiswa semester tua. Terus apa hubungannya dengan tulisan ini kalau itu nggak ganggu kamu, Ferguso?

Gambar hanya pemanis buatan dan bisa saja mempunyai hak cipta


Terus terang, kadang saya yang masih jomblo ini merasa terdiskriminasi dengan kata-kata manis mereka dengan menikah adalah sunnah nabi yang cenderung diarahkan kepada kaum jomblo. Apa kalimat itu salah, Johny? Itu tergantung, Ngatmijan. Memang menikah adalah salah satu sunnah nabi. Tapi apakah tendensinya bijak? Sekali lagi, menikah memang sunnah. Nabi sendiri pun pernah berkata dalam salah satu hadisnya bahwa menikah adalah salah satu sunnahnya, dan barangsiapa yang membenci sunnahnya maka bukan dari umatnya (HR Bukhari no. 5063 kitab nikah, HR Muslim, HR Annasai). Tapi saat kalimat menikah adalah sunnah ini disandingkan dengan kata muda atau pemuda, maka dengan sudut pandang lain dapat dibaca bahwa seolah-olah pemuda-pemudi yang belum menikah tidak mengamalkan sunnah nabi. Paham, Kartolo?

Loh tapi kan ada hadis-hadis lain yang menganjurkan menikah, Ferdinand? Memang iya ada banyak hadis dan ayat al-Quran yang menganjurkan pernikahan, termasuk menyegerakannya khususnya bagi pemuda. Dan memang kata darah muda lagi bergeloranya, panas-panasnya. Dan nikah adalah sarana yang tepat untuk menghalalkan gelora itu. Bukan begitu, Arjuna?
Sebenarnya tulisan ini pada awalnya saya tujukan untuk orang-orang yang tengah keasikan hijrah cinta dengan nikah muda. Tapi tulisan di atas kok malah menyinggung dalil, sih? Ya biar intronya agak ndalil gitu, heuheu.

Nikah muda memang pilihan. Nikah agak lewat dari usia muda juga pilihan. Ini yang harus dipahami. Agak risih juga kalau sampai ada orang yang lagi kesengsem nikah muda terus memojokkan, mendeskritkan, menyindir, apalagi menghina kami kaum jomblo atau saudara seperjuangan yang memang berencana menikah agak nanti alias lewat usia 25 tahun.

Dari beberapa yang saya amati, para pendakwah nikah muda tidak jarang berkoar agar jangan takut nikah muda, toh orang-orang dulu nikahnya juga muda, banyak yang belum sampai umur 20 malah. Bener juga sih. Tapi apa ndak mikir, John, kalau orang dulu itu kualitasnya beda dengan anak zaman now? Data kuantitatif sama, sama-sama muda kisaran usia 20 tahun. Tapi apa nggak mikirin kalau orang-orang tua dulu tuh sudah matang, dewasa, karena sejak kecil mereka sering bantu kerja keras, kayak bertani, beternak, dll, bukan nyapu ngepel doang. Bandingkan dengan pemuda zaman sekarang yang cenderung sudah mulai mengenal kemanjaan zaman hasil dari perkembangan ekonomi dan budaya serta teknologi yang serba memudahkan, saya kira masih ada lumayan banyak pemuda-pemudi yang belum mencapai tingkat kedewasaan dan kemandirian (yah meskipun masih ada pemuda-pemudi yang masa kecilnya disuruh untuk membajak sawah dsb). Alhasil, dengan kuantitas yang sama (kisaran usia yang sama) namun kualitas berbeda (tingkat kematangan, kedewasaan, kemandirian, dst). Jadi, jangan buru-buru menggunakan argumen ini, Tasmian!

Saya sendiri berpikiran bahwa menikah itu juga butuh kesiapan materil, dalam arti salah satu pihak sudah bekerja atau minimal akan sudah bekerja dan benar-benar mau bekerja. Ini nikah apa nyari duit, Julaekha? Lagian kan menikah itu  juga membuka rezeki, jadi gak perlu khawatir lah! Lah memang hidup setelah menikah menuntut suami-istri baru yang lagi kasmaran untuk hidup mandiri, minimal menunggu setoran dari Pak Bos, bukan dari orangtua. Saya tidak mempermasalahkan berapa batas minimal gaji atau penghasilan, asal mau berusaha maka saya respek. Tapi kalau belum pernah berusaha dan ogah-ogahan berusaha mencari nafkah, lah mau makan apa, Cong? Makan nasi lah, Gun. Nasi ya nasi, tapi emang situ petani, Cong? Rasul saja nikahnya pas umur 25 tahun (yang pada saat itu secara sudah matang lahir-batin, mapan sebagai pedagang lagi).

Saya sih berusaha memahami alasan para pendakwah hijrah cinta yang menyeru manusia kaum muda untuk segera menikah. Pacaran. Ya. Itu adalah salah satu alasan terbesar para pendakwah ini. Memang sih mau diakui atau tidak, pacaran yang tidak menyehatkan alias terkontaminasi “apa yang di bawah pusar dan di balik kolor” alias kebablasan banyak memberi siraman rohani syahwat di pelosok Indonesia tercinta ini. Bahkan beberapa murid SMP & SMA sudah mengandung jabang bayi. Astaghfirullah al-adzim.... Nyebut, Mbok! Nyebut! Pada akhirnya saya juga mengapresiasi dakwah ini, asal tetap tidak sekali-kali menyudutkan kami kaum jomblo, apalagi mengatakan kami tidak mengikuti sunnah Rasul bahkan menghujat agama... Astaghfirullah (lagi). Salah sendiri milih jomblo, Tong! Husshhh... Tuman.

Abrakadabra... Rasulullah Saw yang cinta umatnya, selain memberi solusi dengan menikah, juga memberi alternatif untuk berpuasa. Dengan berpuasa, tentu dengan puasa yang benar, bukan hanya menahan makan dan minum thok, tapi juga menahan segala macam hawa nafsu, gelora panas darah muda dapat diredam. Yoi kan? Jadi ini yang memang harus disadari dan digelorakan jomblowan dan jomblowati untuk berpuasa wajib dan sunnah. Alhamdulillah, ya, bahwa semakin banyak warung dan kedai makan yang sekarang terus berinovasi untuk memotivasi kalangan pemuasa sunnah, salah satunya menggratiskan makanan buka puasa... yuhuiii...

Saya pribadi (bukan mewakili kaum jomblo karena saya bukan jubir organisasi jomblo dan tidak ikut kegiatannya) juga bisa saja mewanti-wanti kalian yang memandang nikah muda adalah solusi dari segala solusi hasrat cinta usia muda dan memandang sinis kami yang tidak sehaluan dengan kalian dengan pernyataan: Menikah adalah urusan terbesar bagi laki-laki dan perempuan. Menikah bukan hanya menyatukan dua insan berbeda jenis dalam satu ikatan, apalagi hanya sebagai kedok penghalal nafsu semata. Lebih dari itu, menikah adalah menyatukan dua keluarga, membina rumah tangga yang samawa, proses menjalankan dan memperbaiki ibadah ritual dan ibadah sosial, dan meneruskan generasi yang salih individual dan salih sosial. Maka menikah membutuhkan kematangan, kedewasaan, dan persiapan, baik material, emosional, dan spirital. Jika menikah hanya sekedar dijadikan kedok penghalal hubungan seksual saja, maka pernikahan itu lemah di hadapan moral sebab mendegradasi sakralitas pernikahan, dan hanya bentuk kemunafikan menjalankan sunnah dengan kata-kata manis membawa nama agama

Huuuft panjang juga ya nasehatnya heuheuheu... Sebelum berakhir, saya mengingatkan agar kita semua saling menghormati piliihan masing-masing. Yang memang minat dan niat nikah muda ya monggo, jangan mendiskreditkan kami yang tidak sehaluan dengan kalian. Yang ingin nikahnya agak entaran karena ingin meneruskan pendidikan atau meniti karir ya monggo, jangan mengolok-olok yang menikah muda, apalagi menganggap mereka baru pacaran. Heuheu...  

Terakhir, saya mengutip dari sebuah gambar yang mengatasnamakan Sabrang Mowo Damar Panuluh alias Noe Letto (karena saya belum klarifikasi ybs secara langsung) yang bertuliskan: Kalau tujuanmu menikah adalah untuk mencari bahagia, maka itu salah. Kamu sudah harus menemukan bahagiamu dari dalam dirimu sendiri, sehingga ketika sudah menikah, yang terjadi adalah saling berebut berbagi kebahagiaan, bukan saling menuntut kebahagiaan.

Gresik, 6 Februari 2019

3 komentar:

  1. Terbaik kakanda.. Memotivasi sekali 😊 Lanjutkan.. (jomblonya) 😂

    BalasHapus
  2. Akhirnya ada tulisan pengobat hati para jomblo😂😂

    BalasHapus