Senin, 10 September 2018

Titik Pemahaman Agama

Titik yang menjadi perbedaan dalam memahami teks agama (dalil/nash) antara sebagian kalangan agamawan dan sebagian yang lain adalah tuntutan ketaatan di satu sisi dan tuntutan realita zaman di sisi yang lain.
Dalam Islam, QS Al-Baqarah [2]:285 menjadi poin yang tidak bisa dihindarkan. Pasalnya, di sana disebutkan bahwa Rasul dan kaum beriman mendengar dan mematuhi (و قالوا سمعنا و أطعنا) terhadap apa yang diturunkan kepada Rasul. Hal ini kemudian menjadi dasar pemahaman teks yang cenderung skriptualistik dengan rasa budaya Timur: ketaatan.
Di lain pihak, ada tuntutan untuk merubah pemahaman teks sesuai tuntutan realita. Ini ditujukan agar Islam tetap berada dalam treknya sesuai kaidah [Islam relevan bagi setiap zaman dan tempat / الإسلام صالح لكل زمان و مكان] yang menjadi konsekuensi dari Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Tentu 'agaknya' pemahaman seperti ini terkadang dirasa bercita rasa Barat: liberalisasi (pembebasan).
Memang semua pihak bersepakat bahwa ada hal-hal yang tidak boleh dirubah secara prinsipil dan ada hal-hal parsial yang memungkinkan pemahaman akan teks untuk dirubah secara parsial. Bedanya adalah terkadang hal-hal itu dilihat dari kacamata yang tidak sama.

Islam Yes, Jawa Yes

Bagi saya, menjadi Islam dan menjadi orang Jawa adalah sebuah kodrat. Islam sebagai perjanjian di alam sebelum alam ini (perjanjian langit) dan Jawa sebagai kehendak Allah yang menjadi konsekuensi dari sunnatullah tentang keberadaan saya (perjanjian bumi). Dua entitas yang tidak dapat dipertentangkan. Ketika keduanya dipertentangkan satu sama lain, maka status manusia itu akan gugur sendirinya.

Sederhananya seperti ini. Allah adalah Sang Maha Pencipta. Dia menciptakan sekaligus menakdirkan saya sebagai manusia ataupun hewan yang berfikir (menurut Plato atau Aristoteles?). "Syarat sah" menjadi manusia adalah dia tinggal di bumi. Kalau di langit namanya malaikat kan ya? Dan suatu keniscayaan manusia adalah hidup bersama. Bahkan Nabi Adam as pun ketika tinggal di 'surga' juga hidup bersama istrinya kan 
Penciptaan Allah sekaligus roh yang bersemayam di jasad saya (serem amat bahasanya haha) adalah perjanjian langit. Sedangkan tinggalnya saya di Jawa adalah perjanjian bumi karena saya terikat dengan dimensi ruang dan waktu. Pun hidup bersama (bermasyarakat) adalah kodrat manusia secara historis.

Kalau salah satu dari dua entitas di atas gugur, status kemanusiaan saya (dan Anda juga tentunya) akan turut gugur. (1) Jika Allah tidak menciptakan saya, maka saya tidak ada (nihil). (2) Jika Allah menciptakan saya, maka kemudian ciptaan Allah (saya) terikat pada dimensi ruang dan waktu. Allah "harus" menyediakan waktu dan ruang agar saya bisa ada.
Jadi dari sini, keduanya tidak dapat dipertentangkan. Bahkan oleh semua makhluk sekalipun.

Di sini semoga dapat membantu menjawab pertanyaan yang menurut saya konyol, bahkan sangat konyol: kita sebagai orang Islam yang tinggal di Indonesia atau orang Indonesia yang beragama Islam?

Kemudian, pelengkap bentuk-manusia untuk menjadi manusia (insan/human/homo sapiens) adalah dia diberi akal budi sebagai alat untuk merealisasikan fungsinya sebagai hamba Tuhan (Abdullah) dan tugasnya sebagai pengayom/pemakmur bumi (khalifatullah fi-l ardh). Dengan akal budi dan naluri manusia untuk bermasyarakat, timbullah kesepakatan-kesepakatan dan nilai-nilai serta hal-hal lain baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Itulah apa yang disebut budaya. Di dalamnya, menurut saya, termasuk agama, mengingat naluri manusia dari setiap zaman dan tempat adalah mencari Tuhan dan bertuhan.

Anda boleh saja tidak sependapat dengan saya mengenai hal ini dengan sudut pandang dan pertimbangan Anda sendiri. Saya pun nanti bisa mempertimbangkannya.

Beragama tidak dapat diekspresikan tanpa budaya. Pun budaya sebagai aktualisasi potensi akal budi manusia tidak boleh menafikan "intervensi" Tuhan yang menciptakan manusia.

Bila kemudian ada yang menanggapi budaya adalah segala hal negatif yang wajib dijauhkan bahkan dipertentangkan dengan agama, maka definisi tersebut bukanlah definisi budaya menurut saya yang merujuk kepada para ilmuwan.

Jika dilihat dari kacamata agama Islam khususnya, memang terdapat ajaran budaya yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Contohnya klenik sihir, berpakaian yang tidak menutupi apa yang dalam Islam disebut aurat, dan tradisi minum arak. Tapi itu hanya bagian dari budaya, bukan keseluruhan budaya itu sendiri.

Meminjam kalimat Cak Nun (Emha Ainun Najib), Anda yang laki-laki akan tetap sah sholatnya jika hanya menggunakan sarung yang menutupi sebatas antara pusar sampai lutut. Tapi apakah Anda akan berani menggunakan pakaian itu untuk sholat jamaah di masjid? Saya yakin pasti tidak. Kenapa? Karena ada nilai kesopanan masyarakat. Kesopanan masyarakat sendiri termasuk ke dalam budaya. Pun pakaian yang digunakan untuk melaksanakan perintah agama dalam menutup aurat adalah bagian dari budaya juga.

Dari penjelasan yang agak panjang (semoga Anda tidak pusing 😅😅), semoga kita semua dapat mengambil kebijaksanaan dalam melakukan sesuatu. Terkadang orang yang keras dalam beragama adalah benar meskipun tidak selalu baik dan bijaksana. Terkadang pula, orang yang keras dalam berbudaya adalah baik meskipun tidak benar. Maka hendaklah kita berusaha mendaki tebing kebenaran (الحق) dan kebaikan (الخير، المعروف، الحسن، الصالح) dengan bijaksana (الحكمة).

Paradoks bermuhammadiyah

Memang aku bukanlah orang yg paling paham Muhammadiyah. Atau bahkan jangan2 aku bukan warga Muhammadiyah. Tapi sebagai manusia (kalau tidak menyebut aku muslim), aku punya kewajiban mengkritik dan mengingatkan
Penyakit _kronis_ warga Muhammadiyah hari ini adalah tidak mau membaca pemikiran Islam dengan pembacaan baru dan melanggengkan status quo (statis). Padahal keadaan inilah yang membuat Mbah Ahmad Dahlan terdorong mendirikan Muhammadiyah, gerakan baru untuk mendobrak paham Islam yang statis. Sayangnya banyak warga Muhammadiyah yang _mengkhianati_ perjuangan beliau dengan melanggengkan status quo bermuhammadiyah dan sibuk pada rutinitas formal-normatif tanpa menangkap ruh gerakan ini.
Sering orang mengira bermuhammadiyah adalah sebuah tujuan. Bukan. Muhammadiyah adalah perjuangan. Bermuhammadiyah adl proses, jalan, bukan tujuan yg membuat orang statis berislam.
Warga Muhammadiyah jumawa menganggap dirinya sebagai anggota dari sebuah organisasi yang mendobrak drpd status quo kalangan tradisional kala itu. Barangkali ia hanya melihat sejarah masa lalu (romantisme sejarah) tapi tidak melihat dirinya yang sekarang.
Dewasa ini, bahkan yang kita katakan sebagai kalangan tradisional-konservatis-kolot (NU) malah menjelma sebagai neotradisionalis: kontributor paham baru dalam khazanah pemikiran Islam yang mendobrak. Mau tidak mau harus kita akui itu. Pak Haedar Nashir menuliskan itu dalam bukunya _Memahami Ideologi Muhammadiyah_. Sedangkan warga Muhammadiyah sendiri yang awalnya progresif berubah menjadi konservatif dan statis dengan paham dan tafsir yang monolitik. Sebuah paradoks bermuhammadiyah.
Ciputat, 7-9-2018