Senin, 10 September 2018

Paradoks bermuhammadiyah

Memang aku bukanlah orang yg paling paham Muhammadiyah. Atau bahkan jangan2 aku bukan warga Muhammadiyah. Tapi sebagai manusia (kalau tidak menyebut aku muslim), aku punya kewajiban mengkritik dan mengingatkan
Penyakit _kronis_ warga Muhammadiyah hari ini adalah tidak mau membaca pemikiran Islam dengan pembacaan baru dan melanggengkan status quo (statis). Padahal keadaan inilah yang membuat Mbah Ahmad Dahlan terdorong mendirikan Muhammadiyah, gerakan baru untuk mendobrak paham Islam yang statis. Sayangnya banyak warga Muhammadiyah yang _mengkhianati_ perjuangan beliau dengan melanggengkan status quo bermuhammadiyah dan sibuk pada rutinitas formal-normatif tanpa menangkap ruh gerakan ini.
Sering orang mengira bermuhammadiyah adalah sebuah tujuan. Bukan. Muhammadiyah adalah perjuangan. Bermuhammadiyah adl proses, jalan, bukan tujuan yg membuat orang statis berislam.
Warga Muhammadiyah jumawa menganggap dirinya sebagai anggota dari sebuah organisasi yang mendobrak drpd status quo kalangan tradisional kala itu. Barangkali ia hanya melihat sejarah masa lalu (romantisme sejarah) tapi tidak melihat dirinya yang sekarang.
Dewasa ini, bahkan yang kita katakan sebagai kalangan tradisional-konservatis-kolot (NU) malah menjelma sebagai neotradisionalis: kontributor paham baru dalam khazanah pemikiran Islam yang mendobrak. Mau tidak mau harus kita akui itu. Pak Haedar Nashir menuliskan itu dalam bukunya _Memahami Ideologi Muhammadiyah_. Sedangkan warga Muhammadiyah sendiri yang awalnya progresif berubah menjadi konservatif dan statis dengan paham dan tafsir yang monolitik. Sebuah paradoks bermuhammadiyah.
Ciputat, 7-9-2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar