sumber: health.grid.id |
Sejak virus corona atau yang jamak disebut sebagai
COVID-19 merebak, pemerintah mengimbau bahkan pada titik tertentu memaksa
warganya untuk melakukan social distancing. Sampai tulisan ini dibuat, tercatat 3.151.558 orang
telah terinfeksi dengan korban meninggal mencapai lebih dari 218.473 jiwa di
seluruh dunia, di mana 9.771 orang yang terinfeksi adalah warga negara
Indonesia dengan jumlah kematian mencapai 784 jiwa (sumber worldometers.info).
Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan
kebijakan physical distancing bagi masyarakat. Istilah tersebut meralat
istilah social distancing yang
terlanjur digunakan sebelumnya. Tujuan dari physical distancing yang
diserukan oleh pemerintah ialah agar masing-masing individu sebisa mungkin
mengisolasi dirinya atau membatasi aktivitas fisik yang berkerumun atau
berdekatan dengan orang lain untuk memutus rantai penyebaran virus ini. Negara-negara
lain pun mengalami kondisi serupa. Di beberapa negara yang terdampak parah,
pemerintah setempat bahkan memutuskan untuk melakukan lockdown wilayah
atau negara secara paksa.
Tentu saja pandemi ini bukan yang pertama kali,
bahkan sudah yang kesekian kali. Dengan
kondisi yang seperti ini, sepertinya Tuhan tengah memberi alarm dan hikmah bagi
kita. Pandemi seperti ini jangan kita anggap sebagai siksa, melainkan sebagai
alarm dari Tuhan yang kuasa dan penuh welas asih. Dengan sikap tetap berbela
sungkawa kepada korban meninggal, penulis membaca pesan bahwa Tuhan melalui pandemi
ini membiarkan bumi untuk sejenak beristirahat dan sedikit bernafas lega.
AUTENTISITAS MANUSIA
Penulis mengajak pembaca untuk sejenak merenungkan
pemikiran seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger berkaitan dengan
keberadaan manusia dan jarak yang akan mengantarkan kepada perenungan tentang
autentisitas diri kita.
Heidegger
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempersoalkan tentang “Ada”. Di
sisi lain, manusia adalah dasein, ia ada di sana; ia terjebak
dalam ruang dan waktu tertentu. Eksistensi atau keberadaan manusia, menurutnya,
adalah Ada yang berjarak (existenz). Manusia dapat mengambil jarak dari
dirinya dan memperoalkan keberadannya yang terlempar-ke-dalam-dunia. Kita dapat
mempersoalkan diri kita sekarang: mengapa kita kuliah tinggi-tinggi, atau
mengapa kita bercita-cita menjadi dokter, misalnya.
Entah kita sadari atau tidak, menurut Heidegger, hidup
kita terdiri dari tiga komponen: 1) terlempar di dunia yang kerap tidak diinginkan
alias terlempar begitu saja (faktisitas); 2) rutinitas yang membuatnya tidak
lagi otentik (keterjatuhan), dan; 3) mengantisipasi masa depan (pemahaman).
Kelarutan kita dalam rutinitas membuat kita tidak
lagi autentik menjadi diri sendiri. Pekerjaan, hobi, dan gengsi kita membuat
kita tidak lagi autentik (inautentik). Kita harus mengambil jarak agar kita
dapat menyendiri dan berkontemplasi, memikirkan diri siapa sesungguhnya diri
kita.
Ada satu hal dalam pandangan Heidegger yang dapat
membongkar inautentisitas kita. Ya, kecemasan. Kecemasan akan muncul tatkala
prahara berupa penyakit, kemiskinan, atau kematian menyentuh hidup kita. Kecemasan
akan menelanjangi kepura-puraan dan selubung-selubung kepalsuan kita. Kecemasan
membuat kita “terlempar” dalam palung-palung Ada kita sendiri. Kecemasan akan
mengungkapkan siapa jati diri kita sebenarnya, autentisitas kita. Setelah
menyadari autentisitas diri, kita harus mengorientasikan masa depan sesuai
dengan autentisitas tersebut.
KEBERAGAMAAN YANG AUTENTIK
Penulis menemukan dalam tiga kesempatan (QS.
al-Isra’: 67; QS. al-‘Ankabut: 75, dan; QS. Luqman: 32), al-Qur’an menyebutkan
tentang orang-orang yang apabila ditimpa kesusahan hingga titik nadir, mereka
mengesakan Allah dengan benar-benar memurnikan agama dan peribadatan untuk-Nya
semata. Namun tatkala Allah menghindarkan mereka dari kesusahan, mereka kembali
menyekutukan-Nya. Keberagamaan semacam ini adalah monoteisme temporal, tauhid
sesaat.
Dibaca melalui perspektif Heideggerian, al-Qur’an
tampak hendak mengatakan bahwa prahara
kesusahan mengungkap jati diri manusia. Manusia sebenarnya, ketika dihadapkan
atau “terlempar” pada suatu kondisi yang menyentuh pangkal-pangkal kecemasannya,
adalah makhluk yang lemah. Dalam situasi seperti itu, naluri alamiah dan diri
autentiknya mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa yang patut disembah dan
dimintai pertolongan. Namun tatkala ia kembali menjalani rutinitasnya, ia
kembali melakoni kesyirikan yang justru membuatnya inautentik. Padahal
seharusnya ia harus mengorientasikan masa depannya selaras dengan tauhid yang
autentik tersebut.
KITA DAN CORONA
Dengan social disctancing saat ini, kita seolah
terlempar pada suatu kondisi dunia di mana kita harus mengambil jarak, baik
dari benda-benda, rutinitas, bahkan diri kita saat ini. Kecemasan terhadap prahara
penyakit yang berpotensi maut ini seolah menelanjangi rutinitas dan diri kita,
menyentuh urat-urat saraf kepalsuan kita. Ini adalah momen di mana seharusnya
kita dapat memikirkan jati diri kita.
Dalam situasi gawat karena virus ini, pemerintah
mengimbau untuk mengurangi aktivitas
ritual keagamaan yang bersifat kolektif. Di beberapa daerah terdampak parah,
rumah ibadah “menuju” diliburkan. Tuhan seolah mengajak kita “menemukan-Nya”
dalam kesendirian, alienasi, ketersendirian kita. Tuhan seolah berpesan bahwa
Dia bukan berada di rumah ibadah, melainkan berada dalam relung hati kita yang
terdalam.
"Terlempar" dalam situasi seperti ini, kita diajak merenung apakah
kita termasuk orang-orang autentik temporal itu? Apakah kita benar-benar manusia
tauhid atau justru bertauhid sesaat saja? Setidaknya, jika kita benar-benar
berada dalam kecemasan tersebut, kita pasti menyadari suara nurani kita yang
autentik bahwa kita adalah hamba Tuhan yang sepenuh hati mengabdi kepada-Nya.
Tidak salah dan tidak jarang kita menjadikan
peristiwa kesusahan sebagai titik awal kita kembali kepada Tuhan. Akan tetapi, jangan
sampai ketika pandemi ini berakhir, keberagamaan kita kembali terusik oleh
iming-iming duniawi yang kita berhalakan: kesuksesan material yang eksploitatif,
jabatan dan kekuasaan yang korup, dan penjarahan kita terhadap bumi pertiwi
dengan berlagak sok menjadi tuhan. Jangan sampai kita mencampakkan iman
autentik kita.
Kita dapat menguji autentisitas diri dalam ranah
sosial. Praktik solidaritas kerap terjadi manakala kita merasa senasib
sepenanggungan dengan orang lain. Kecemasan dalam menghadapi pandemi ini
“melempar” kita untuk saling bergotong royong untuk memutus rantai penyebaran
virus kecil nan berbahaya ini. Yang perlu kita perhatikan adalah apakah
solidaritas sosial kita hanya solidaritas temporal yang hanya bertahan sampai
pandemi ini selesai ataukah –dan semoga- menjadi langkah awal solidaritas sosial
dan persatuan kebangsaan yang autentik dan konstruktif serta beriorentasi untuk
jangka waktu yang panjang?
Demikian halnya dengan pemerintah. Kita dapat
melihat apakah kecemasan serupa memancar dari diri mereka ataukah sebaliknya.
Apakah autentisitas mereka tulus ikhlas demi rakyat atau sarat kepentingan
pribadi yang sering diumbar justru merupakan autentitas mereka itu sendiri?
Tentu kita berharap bahwa kecemasan-kecemasan rakyat dapat menyentuh relung
hati pemerintah pengemban amanah untuk bekerja semaksimal mungkin memutuskan
langkah bijak guna menghindari krisis yang lebih besar dan menyingkirkan
kepentingan yang tidak penting.