Senin, 05 Juni 2017

Muhammadiyah: Spirit, Ideologi, dan Dakwah Kultural

Sebuah organisasi berdiri tidak begitu saja, melainkan ada beberapa hal yang mendorongnya berdiri. Organisasi keagamaan, sosial, ataupun partai politik tentu mempunyai dasar-dasar ia didirikan. Begitu pula dengan Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial-keagamaan yang merupakan organisasi Islam modern terbesar di tanah air mempunyai alasan ia didirikan.
Yang paling dikenal di antara anggota Muhammadiyah sendiri adalah Kyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi ini adalah untuk memberantas Tahayul, Bid`ah, dan Churafat (TBC). Namun benarkah Muhammadiyah hanya sebatas itu? Tak adakah faktor dan arti lain Kyai Dahlan (sebutan beliau) mendirikan persyarikatan tersebut yang dikenal anti-mainstream di kalangan masyarakat pada saat itu? Tentunya, masih ada hal-hal lain yang mendasari beliau bertekad dan berjuang keras untuk mendirikan dan membesarkan persyarikatan tersebut. Dan tentu kader-kader dan para penerus pemegang tongkat estafet persyarikatan perlu mengetahui dan memerhatikan serta menghayati apa saja yang mendasari Kyai Dahlan mendirikan persyarikatan Islam modern tersebut.
Spirit
Gerakan Kyai Dahlan dilandasi di atas semangat nilai kemanusiaan. Pernyataan tersebut daat dilihat dari bagaimana beliau pada zamannya bekerja sama dengan para dokter Belanda untuk menolong umat, sehingga para dokter tersebut rela menolong secara gratis sebab dilandasi oleh nilai profetik kemanusiaan. Hal ini yang menarik seorang dokter priyai, Soetomo terkesan dengan gerakan kemanusiaan Kyai Dahlan tersebut. Selanjutnya, ia memandang nilai dasar (profetik) yang ia sebut “welas asih” itu, merupakan kekuatan yang menggerakkan seseorang melakukan tindakan sosial membela sesama.
Rasionalisasi fungsional atau fungsional-pragmatis yang melahirkan etika “welas asih” tersebut paradigma pembaharuan beliau dalam merealisasikan ajaran Islam yang beliau pahami dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu juga memperoleh kritik keras Surat al-Ma’un pada praktik ibadah tapi mengabaikan kepedulian dan pemberdayaan anak yatim dan fakir miskin. Aksi-aksi sosial beliau banyak terinspirasi dari pengalaman orang-orang Kristiani seperti Belanda, Portugis, dan Inggris, dalam hal pengelolaan kehidupan sosial dan kesehatan. Dan masih banyak lagi pembaruan beliau yang lain dalam aksi sosial yang di kemudian hari  menjadi sangat dirasakan manfaatnya. Beliau berkeinginan kuat agar memberdayakan kaum dhuafa dan tertindas agar lebih manusiawi dalam kehidupannya. Sejatinya hal itu merupakan semangat Islam, yakni melepaskan beban-beban ketertindasan dan mengangkat harkat dan martabat manusia sehingga  manusia menjadi lebih manusiawi (hamunisasi manusia) yang berlandaskan ajaran Tuhan.
Di samping itu, gerakan Kyai  juga didasari atas ketimpangan oleh apa yang seharusnya (teori) dan apa yang terjadi (realitas). Dalam kapasitasnya sebagai seorang Kyai, beliau paham akan ungkapan al-Quran yang menyebutkan bahwa umat Islam adalah sebaik-baik umat. Namun pada kenyataannya, kala itu umat Islam tengah terpuruk. Tak hanya di Indonesia, melainkan juga hampir di seluruh penjuru dunia. Beliau merenungi benar kegalauan tersebut. Ditambah lagi tengah munculnya gerakan pembaharuan di Timur Tengah. Didasari atas itu, Kyai berusaha melepaskan jerat-jerat keterbelakangan umat, baik yang bersifat kultural maupun stigma masyarakat. Kondisi kultural saat itu masih lekat dengan sinkretisme (pencampuradukan) agama sehingga membuat masyarakat Islam Jawa berprilaku tak sebagaimana mestinya se.laku muslim. Dan di sisi lain ilmu Islam tak berkembang ilmu dan peradabannya. Maka Kyai  membuat sebuah gebrakan baru dalam hal tersebut, yakni purifikasi dalam hal ajaran agama dan modernisasi dalam bidang sosial-masyarakat.
Dengan demikian, selain realisasi tafsir Kyai atas surat al-Ma’un, adalah juga beliau didasari oleh surat Ali ‘Imron ayat 104:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”


          Bagi Kyai, sikap terbuka menyerap puncak-puncak peradaban tanpa memandang bangsa dan agama pengemban peradaban tersebut adalah penting selama ia sejalan dengan ajaran Islam, terlebih dalam hal pemberdayaan sosial. Itulah gagasan dan etos gerakan beliau. Berbagai aksi sosial beliausulit ditemukan referensinya pada kitab-kitab klasik maupun modern. Kemungkinannya adalah beliau mencoba memadukan antara ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan dan rasio dalam praktik keseharian. Dari sini, Muhammadiyah bisa mengembangkan  aksi-aksi sosial yang mengangkat harkat dan martabat manusia secara universal. (Mulkhan, 2010).
Sementara itu, semangat memurnikan atau purifikasi Islam adalah semangat beliau yang lain dalam hal keagamaan. Ketika melihat sebagian umat Islam di lingkungannya menyimpang bahkan menyalahi ajaran agama (sinkretisme) yang tertulis dalam al-Quran dan hadis. Usaha dakwah Muhammadiyah sendiri cenderung kembali ke nash (al-Quran dan hadis) pada hal-hal yang sekiranya tak memerlukan banyak intepretasi dan dilakukan dengan cara yang sederhana yang diajarkan rasul. Pada dasarnya, ini merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide mengenai transformasi sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial, atau masyarakat tradisional ke masyarkat modern. Upaya Muhammadiyah untuk melakukan transformasi tersebut adalah dengan melepaskan beban-beban kultural yang menghambat kemajuan umat.Purifikasi pada bidang ini adalah pada bidang akidah, yaitu dengan memberantas Tahayul, Bid’ah, dan Churafat (TBC). Ini merupakan respon konkrit terhadap budaya setempat yang dianggap menyimpang dari aturan aqidah Islamiyah. Selanjutnya, Muhammadiyah juga melakukan demistifikasi dan mengenalkan budaya etos kerja. Artinya berbagai hal yang mengakibatkan umat terbelenggu oleh hal-hal sufisme dihilangkan dan menggantinya dengan etos kerja yang sistematis dan rasional.
Selain dikenal sebagai puritan, Muhammadiyah juga memposisikan diri sebagai gerakan tajdid, di mana ia melakukan melakukan pembaruan pemikiran untuk mencari pemecahan masalah atas berbagai persoalan kontemporer yang dihadapi,  yang merujuk pada al-Quran dan sunnah sebagai landasan yang sekaligus memberi pengarahan ke mana pemikiran itu akan dikembangkan. Secara bahasa, tajdid adalah pembaruan, inovasi, dan restorasi. Tajdid dalam Islam sendiri memiliki pengertian usaha dan upaya intelektual Islami untuk menyegarkan dan memperbaharui pengertian dan penghayatan terhadap agama berhadapan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat. Kerja tajdid adalah ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan konteks ruang dan waktu.
Singkatnya dari uraian di atas, Muhammadiyah memiliki tiga semangat, baik itu dari Kyai Ahmad Dahlan sendiri atau yang disusun setelahnya, yakni etika welas asih kemanusiaan, purifikasi, dan tajdid yang ke semuanya ditujukan bagi umat agar bisa berkembang dan berdaya saing dengan umat lain sesuai dengan semangat Islam, sehingga umat Islam bisa menjadi maju dan superior sehingga melepaskan predikat inferioritas di hadapan dunia.
Ideologi
Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan-keagamaan bisa menjadi besar tentu mempunyai pijakan yang kuat. Sebab jika tidak, maka rasanya mustahil bisa eksis dan besar sehingga usianya sudah lebih dari seabad dan memberi manfaat di seantero negeri. Pijakan itulah apa yang disebut dengan ideologi. Namun timbul beberapa pertanyaan, apa ideologi Muhammadiyah tersebut? Apakah warga Muhammadiyah mengenal dan mengamalkan ideologi tersebut? Atau bahkan apakah Muhammadiyah itu  sebuah ideologi? Sebagian orang kadang ada yang mengkonfrontasikan Islam dan Muhammadiyah. Ada yang mengatakan  karena Muhammadiyah berasaskan Islam, yang penting paham Islam maka otomatis akan paham Muhammadiyah itu sendiri. Tapi benarkah seperti itu?  Maka rasanya patut untuk ditelaah kembali ideologi Muhammadiyah tersebut agar para penerus dan anggotanya mengenal organisasi mereka sehingga tak memelencengkan tujuan awal Kyai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Pada dasarnya, ideologi ialah suatu cara berpikir dalam memandang kehidupan, yang dibedakannya dengan cara berpikir metafisika dan agama. Fungsi ideologi sendiri adalah mempolakan, mengkonsolidasikan, dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat (Santoso Kristeva, 2015).
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam tidak dapat dipisahkan dari ideologi, yakni seperangkat paham tentang kehidupan dan strategi perjuangan untuk mewujudkan cita-citanya sekaligus membedakannya dari organisasi dan gerakan Islam lainnya. Ideologi Muhammadiyah sendiri berkaitan erat dengan pemikiran dan spirit Kyai Dahlan berkaitan dengan ide dan cita-cita tentang Islam. Diyatakan bahwa ideologi berarti “keyakinan hidup”, hal itu mencakup “1. pandangan hidup, 2. tujuan hidup, dan 3. ajaran dan cara yang dipergunakan untuk melaksanakan pandangan hidup dalam mencapai tujuan hidup tersebut.”
Konsep ideologi dalam Muhammadiyah bersifat mendasar, yaitu menyangkut dan diistilahkan dengan “Keyakinan dan Cita-Cita Hidup”. Ideologi Muhammadiyahh ialah “sistem keyakinan, cita-cita, dan perjuangan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Adapun kandungan ideologi Muhammadiyah tersebut ialah (1) Paham Islam atau paham agama dalam Muhammadiyah, (2) Hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dan (3) Misi, fungsi, dan strategi perjuangan Muhammadiyah. Di sini strategi tidak bisa dipisahkan dari ideologi, yang dalam Muhammadiyah dikenal dengan Khittah Perjuangan Muhammadiyah (Haedar Nashir, 2014).
Ideologi Muhammadiyah dalam pandangan akademik sering disebuut dengan ideologi kaum modernis atau reformis. Alfian (1989) menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan reformis. Orientasi ideologi keagamaan kaum reformis-modernis ditandai dengan wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan sehingga harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari guna tercapainya spirit dan cita-cita Islam itu sendiri.
Ideologi Muhammadiyah yang reformis-modernis lebih menampilkan corak Islam yang berkemajuan, yang memadukan pemurnian (purifikasi) bidang keagamaan dan pengembangan (dinamisasi) pada konstruksi dan pengamalan dengan menggunakan ijtihad. Sehingga demikian Muhammadiyah bersifat tengahan (moderat atau wasithiyyah) dalam meyakini, memahami, dan melaksanakn ajaran Islam, sehingga akan aktual dan menjadi agama untuk peradaban sepanjang zaman. Sikap reformis dan moderat Muhammadiyah tersebut semakin kental jika dikaitkan dengan formula pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh Muhammadiyah.
Namun penggunaan  label reformis dan moderat jangan dipelintir dari sifat Muhammadiyah itu sendiri. Sifat reformis jangan dikesankan dekonstruksi ajaaran Islam dan bersifat sekuler-liberal, sedangkan sikap moderat jangan dianggap bahwa Muhammadiyah bersifat tidak berprinsip dan tidak jelas alias abu-abu, lalu diarahkan ke arah yang tidak seharusnya. Padahal perspektif Islam dalam Muhammadiyah secara tegas difromulasikan dalam orientasi tajdid yang bersifat purifikasi (pemurnian) dan dinamisasi (pengembangan) maupun dalam pengembangan manhaj tarjih. Di sinilah dibutuhkan sikap istiqamah sekaligus kecerdasan dalam memahami, menghayati, dan mengaktualisasikan ideologi Muhammadiyah dalam dinamika ideologi dan gerakan lain di dunia yang semakin kompleks.
Pada abad kedua ini, Muhammadiyah menghadirkan istilah “Islam yang Berkemajuan” pasca Muktamar ke-46 atau Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 2010. Muhammadiyah tidak sekedar memperkenalkan istilah tersebut, tapi juga mengembangkan konsep tersebut yang dinilai “mengindonesia” bagi Muhammadiyah. Muhammadiyah memandang bahwa bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan dan bermartabat. Kemajuan dalam pandangan Islam menurut Muhammadiyah adalah kebaikan yang serba utama yang melahirkan keunggulan  hidup lahiriah dan ruhaniah. Sehingga kemudian dakwah dan tajdid Muhammadiyah diarahkan untuk mewujudkan pandangan tersebut yang disebut “menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Untuk melaksanakan misinya tersebut, dibutuhkan kontekstualisasi nilai-nilai Islam yang menggunakan akal atau rasio yang suci atau benar-benar diniatkan mencari kebenaran melalui ijtihad sebagai instrument kemajuan, sehingga Islam tetap dapat berkembang dan menjadi agama yang relevan di setiap tempat dan zaman tanpa harus kehilangan pijakannya yang autentik pada sumber ajaran. Dengan demikian, bahwa ideologi dan sikap Muhammadiyah adalah reformis, modern, dan moderat, bukan revivalis-konservatis yang cenderung kaku ataupun sekuler-liberalis yang condong pada serba boleh sehingga mendekonstruksikan nilai dan ajaran Islam itu sendiri.
Problemnya adalah mampukah para pewaris dan penerus persyarikatan Muhammadiyah mengenal, menghayati, dan mengaktualisasikan ideologi Muhammadiyah yang berlandaskan semangat Kyai Ahmad Dahlan untuk memberdayakan dan memajukan umat manusia pada umumnya dan umat Islam khususnya yang sejalan dengan nilai dan ajaran Islam  di tengah dinamika dan pertarungan berbagai gerakan dan ideologi lokal maupun global pada zaman modern ini?
Gerakan Dakwah Kultural Muhammadiyah
Muhammadiyah dirintis oleh Kyai Dahlan pada 1912 Masehi silam diilhami oleh semangat dakwah amar ma’ruf nahy munkar. Semangat itu kemudian diaktualisasikan melalui gerakan dakwah Islam dengan menggunakan pemikiran-pemikiran dan langkah-langkah yang dinamis di atas pijakan purifikasi  guna mewujudkan amalan-amalan Islami di lingkup kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara. Dakwah Islam ini sejatinya merupakan lanjutan risalah ¬din al-Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW kepada umat manusia dengan misi agung, yaitu menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Dalam rangka melaksanakan dakwah tersebut, Muhammadiyah melakukan beragam cara pendekatan dan strategi dakwah, salah satunya melalui dakwah kultural. Hal ini dilakukan sebagai aktualisasi ajaran Islam di tengah dinamika perubahan sosial yang plural sekaligus mencontoh pendekatan yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam usaha beliau mengembangkan ajaran Islam. Secara formal metode dakwah ini digagas dan menjadi keputusan Sidang Tanwir di Denpasar, Bali pada tanggal 24-27 Januari 2002. Fokus dakwah kultural adalah penyadaran iman sehingga umat bersedia menerima dan memenuhi seluruh ajaran Islam yang meliputi segi akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak dengan tetap memerhatikan tahapan sosial berdasarkan pluralitas ekonomi, sosial, politik, dan budaya suatu masyarakat hingga akhirnya tercapai masyarakat Islami ideal sebagaimana misi utama risalah Islam. (PP Muhammadiyah, 2004)
Islam menganjurkan kearifan dalam memahami realitas masyarakat dengan memerhatikan kecenderungan manusia beserta sifat dan karakternya. Dakwah Islam sebagai proses yang saling mempengaruhi diimplementasikan secara bijak, terbuka, dan manusiawi dengan memperhatikan situasi dan kondisi obyek dakwah, baik kemampuan intelektual masyarakat maupun kondisi psikologis mereka. Muhammadiyah memandang bahwa obyek sangat plural sehingga memiliki tahapan-tahapan dan kualitas keimanan yang berbeda. Untuk itulah Muhammadiyah melakukukan pendekatan sesuai realitas yang terjadi di masyarakat dan mengarahkannya untuk  menyebarluaskan universalitas rahmat Islam.
Muhammadiyah berpegang pada konsep memelihara warisan yang baik dan mengambil atau bahkan menciptakan suatu inovasi yang lebih baik. Muhammadiyah setelah mencermati sumber normatif dari al-Quran dan as-Sunnah, memperhatikan kesinambungan upaya-upaya dakwah generasi terdahulu. Meskipun demikian, dakwah kultural tidak dapat semata dipandag sebagai strategi kebudayaan dan perubahan sosial dalam konteks budaya semata, namun membangun arus baru berupa kebudayaan yang bernuansa Islami baik dalam konteks lokal maupun global.
Dakwah kultural bukan berarti melestarikan atau membenarkan hal-hal yang bersifat syirik, tahayul, bid’ah, khurafat, tetapi cara memahami dan menyikapi suatu kondisi dan kultur dengan menggunakan metode dakwah yang bijak. Maka Muhammadiyah memiliki sifat dinamis sekaligus purifikatif. Dinamis dalam arti mengapresiasi manusia dalam kecenderungannya berbudaya dan mengarahkan agar budaya tersebut membawa kemajuan dan pencerahan hidup manusia secara ruhani dan jasmani. Sedangkan purifikasinya berarti menghindarkan suatu budaya masyarakat dari hal-hal yang merusak ajaran Islam, baik dari segi akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak dan membumikan nilai-nilai tauhid. Islam membutuhkan budaya dalam rangka menyebarkan misinya. Namun perlu dibedakan dengan tegas antara mana Islam yang bersifat absolut dan mana yang Islam kultural yang bersifat relatif.
Membahas budaya lokal, tentu tak lepas dari: (1) sisa-sisa mitologi animisme-dinamisme; (2) aktivitas ritual berdasarkan mitologi animisme-dinamisme dan sinkretisme; dan (3) produk budaya simbol religi. Dakwah Muhammadiyah perlu mencermati ketiga unsur budaya lokal di atas guna mencari dan merumuskan cara dan strategi pendekatan dakwah agar dakwah Islam lebih membumi pada masyarakat obyek dakwah sehingga tak menimbulkan gejolak sosial tanpa harus nilai tauhid terkontaminasi dengan nilai lain yang berlawanan dengannya yang bertujuan untuk mencerahkan mereka. Maka diperlukan beberapa tuntunan bagi para pelaku dakwah lokal. Pertama, pengenalan dengan baik berbagai aspek dari ajaran agama. Kedua, pengenalan dengan baik kebudayaan lokal dan segala seluk beluk kehidupan masyarakat. Ketiga, pengenalan dengan baik kenyataan masa kini beserta segala perubahan yang sedang dan akan terjadi beserta dampak yang ditimbulkan. Keempat, penguasaan sejarah dan penggunaan imajinasi kreatif. Dengan demikian, dakwah kreatif dalam budaya lokal adalah upaya menciptakan perubahan dan transformasi budaya sesuai dengan aspirasi baru yang relevan namun tetap mengakar pada sumber autentik ajaran agama. (PP Muhammadiyah, 2004)
Di sisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah membuat  pudar sekat-sekat geografis dan menimbulkan berbagai perubahan kehidupan manusia. Era ini bernama globalisasi. Di dalamnya terdapat harapan sekaligus ancaman dan kecemasan, harapan yang berisi pilihan-pilihan untuk maju dan berkembang untuk membangun peradaban manusia yang tercerahkan ruhani dan jasmaninya sekaligus terdapat kerawanan baru yang dapat mengantarkan manusia dan masa depannya ke dalam jurang degradasi nilai sosial.
Namun jika dicermati dari semangat Islam, sesungguhnya Islam sendiri bersemangat global dan mencerahkan. Dari kondisi yang terjadi di masyarakat sendiri muncul tren baru. Di satu sisi budaya konsumtif, hedonisme, dan materialisme semakin menggurita yang menggerus kearifan budaya lokal, termasuk budaya bernilai keislaman. Namun di sisi lain, kerinduan umatakan identitas keislaman semakin marak dengan berbagai modelnya, baik dari budaya-budaya baru ataupun menghadirkan beberapa budaya lama serta bangkitnya semangat belajar Islam yang tak hanya bisa didapat lewat lembaga konvensional, tetapi juga sumber-sumber lain yang memanfaatkan produk teknologi. Maka dari itu, Muhammadiyah perlu memperluas khazanah dakwahnya sesuai dengan pola perkembangan kehidupan global. Antara lain dengan memberi alternatif-alternatifpemikiran guna mengimbangi pemikiran-pemikiran baru yang dapat menyudutkan dan menggerus nilai ajaran Islam, membahas dan mengangkat isu-isu kontemporer yang dibingkai dengan paham Muhammadiyah dalam gerakan dakwahnya. Selain itu, pemanfaatan media-media komunikasi-informasi dalam rangka meluaskan dakwahnya tentu menjadi keharusan bagi Muhammadiyah untuk terus mengawal perubahan yang dibawa oleh globalisasi dan mengarahkannya ke dalam bingkai tauhid Islam yang progressif.
Maka kembali lagi ke ideologi Muhammadiyah senditi yang dinamis dalam geraknya namun berasaskan purifikasi, termasuk dinamis dalam merespon globalisasi dan meneguhkan ajaran tauhid Islam dalam berbagai situasi dan kondisi.Dengan demikian, dakwah Muhammadiyah dapat mewarnai dan memberi nilai  terhadap konteks kehidupan manusia beserta kebudayaannya dalam rangka turut serta menyemaikan ajaran Islam tanpa harus menolak kemajuan peradaban manusia yang semakin berkembang beserta dinamika problematika yang mengiringinya agar tercapai maksud dan tujuan Muhammadiyah itu sendiri, menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar