Minggu, 10 Desember 2017

Merevisi tafsiran alam untuk manusia

Alam ini tidak diciptakan hanya untuk manusia. Artinya, manusia tidak memiliki hak untuk mengeksploitasi alam ini semau mereka. Tafsiran para pemuka agama bahwa alam diciptakan untuk manusia dewasa ini kiranya perlu direvisi kembali sehubungan pola pikir yang terbentuk kemudian pada manusia itu sendiri yang selanjutnya merasa berhak berbuat semaunya atas alam indah yang Tuhan ciptakan ini.

Hewan, sebagaimana manusia, juga memiliki hak untuk hidup. Jika manusia melanggar hak hidup mereka, mereka bisa saja menyerang manusia. Namun kemudian manusia menyalahkan mereka dan mulai memburu mereka, padahal hewan hanya mempertahankan hak hidup mereka. Di samping itu, prilaku hewan menyerang atau lebih tepatnya membalas perbuatan buruk manusia adalah hal yang alami sebagai bentuk pelampiasan rasa frustasi pasca trauma yang dimiliki manusia pula. Jangan lupa, secara biologis, manusia adalah bagian dari hewan dan perkara akal budi adalah pembeda manusia darinya. Janganlah mentang-mentang unggul dari segi itu manusia berbuat semaunya.
Tidak hanya hewan, kejadian alam seperti banjir dan longsor ataupun gejala alam lain sebagai dampak perubahan iklim, termasuk karena pemanasan global, bukanlah sebuah bencana. Ini adalah cara alam untuk menemukan keseimbangannya kembali yang mungkin saja telah dirusak atau bahkan dirampok oleh manusia. Labelisasi 'bencana' adalah dari sudut pandang manusia yang lupa akan keseimbangan alam.
Manusia sebagai khalifatullah fi al-ardh (wakil Allah di bumi) seyogyanya bekerja selaras dengan alam, mengambil dari alam apa secukupnya. Sayangnya kata cukup sulit untuk direalisasikan kebanyakan manusia dalam hidup berdampingan bersama makhluk Allah lainnya. Dengan hidup selaras dengan alam, harmoni kebahagiaan akan timbul dan dirasakan oleh semua pihak, manusia, hewan, alam, bahkan jin yang berada di dimensi lain.

Ciputat, 10 Desember 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar