Rabu, 08 November 2017

secuil prihatin petani

Tiada penerus bagi petani
Mayoritas anak petani, dan anak-anak lain, disekolahkan tinggi-tinggi adalah untuk menjauhi profesi petani. Sebenarnya apa sih yang salah dengan profesi petani yang mulia ini? Bukankah petani adalah pahlawan umat manusia, yang memenuhi kebutuhan pangan manusia? Apa jadinya bila beberapa dekade mendatang petani adalah 'sesosok pahlawan' yang langka dan jarang ditemui, sedangkan yang berkeliaran adalah para pekerja sektor formal yang mungkin hanya mengurusi kebutuhan sekunder manusia? Apakah manusia kelak bisa hidup dan dikenyangkan hanya dengan gadget dan koneksi internet?
Seorang teman pernah berujar bahwa ketika petani menjadi profesi yang langka, turut pula hasil produksinya menjadi langka. Dengan mengikuti prinsip permintaan dan penawaran, maka dia meramalkan harga produksi tani akan meningkat sehingga petani akan menjadi kaya? Namun mungkinkah begitu? Bisa iya dan bisa tidak.
Namun yang saya bicarakan bukan melulu hal itu. Namun apa jadinya nasib manusia bumi tanpa persediaan makanan yang cukup? Akan terjadi peperangan, atau paling tidak adalah perseteruan, untuk memperebutkan kebutuhan primer, yaitu makanan, demi kelangsungan hidup sedangkan pada zaman ini pekerjaan tersebut dipandang sebelah mata. Sebuah paradoksitas yang mendidihkan otak. Populasi penduduk dunia semakin meningkat, artinya kebutuhan pangannya turut meningkat. Namun di sisi lain, produksi pangan menurun.
Gengsi yang tinggi untuk bekerja di sektor formal membius banyak generasi muda untuk menjauhi dunia cocok tanam yang 'berpanas-panasan' dan 'penuh noda lumpur'. Lupa mereka kalau komputer tidaklah bisa mereka makan. Tidak mungkin juga mereka minum gelombang radio koneksi internet. Atau ternyata mereka bisa men-charge diri mereka dengan listrik PLN untuk tetap melanjutkan hidup?
Kesejahteraan mayoritas petani yang tidak terlalu menyejahterakan keluarga jadi alasan untuk tidak ikut-ikutan menceburkan diri ke dalam 'dunia tanah becek yang panas', di samping prestige kita telah diarahkan untuk bekerja di kantor dengan AC yang sejuk dengan rutinitas ala robot yang menjemukan daripada harus berpanas-panasan di bawah sengatan sang surya.
Pikirkanlah sejenak perkataan pahlawan bangsa Datuk Ibrahim Tan Malaka, "Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali." Atau anggaplah nasihatnya tak usah diindahkan bila kita sudah sukses menelurkan generasi yang dapat hidup dengan charge listrik sebagai pengganti makanan.

1 komentar: